Pendahuluan
Semakin banyaknya organisasi yang bergantung pada
model proses kematangan atau biasa disebut Capability Maturity Model Integration (CMMI) yang digunakan untuk menilai dan meningkatkan proses area mereka sendiri, karena semakin jelas bahwa kegagalan proyek yang paling umum biasanya disebabkan oleh tidak konsisten-nya suatu proses. Maka sudah selayaknya bila di suatu organisasi yang
besar akan selalu ada kebijakan baru yang mengharuskan setiap bagian organisasi
dapat mencapai tingkat kematangan tertentu.
Namun pada penerapannya
sifat CMMI yang birokratis (koordinasi yang banyak melalui
dokumentasi & tahapan yang kaku) mengakibatkan perkembangan yang lambat. Sehingga
di saat yang bersamaan, metode Agile terus mengalami peningkatan di karenakan hal
tersebut.
Metode Agile atau biasa disebut Agile
software development method, memberikan keuntungan dan kepuasan
kepada customer untuk memberikan hasil
yang berkualitas dengan mempercepat
proses saat pengembangannya. Disamping itu, perusahaan
juga memerlukan usaha yang besar untuk meningkatkan proses
produksi mereka dan lebih menyadari bahwa pendekatan agile dapat membantu jalannya
proses tersebut. Dilain pihak, penerapan agile dapat dikritisi karena lemahnya
disiplin dan hanya cocok untuk aplikasi kecil atau
aplikasi yang tidak begitu besar .
Di karenakan factor
tersebut banyak organisasi mengandalkan CMMI sebagai indikator proses
kematangan (maturity), sedangkan seharusnya hal itu diterjemahkan ke dalam
kualitas produk. Sehinga disisi lain
metodologi Agile seperti xp dan scrum menjadi lebih menonjol.
Maka tinjauan harus
dilakukan apakah metode Agile dapat disesuaikan untuk mencapai CMMI level.
Penulisan ini dimaksudkan sebagai tahapan awal dalam upaya mengungkapkan mungkinkah
metode agile dan CMMI dapat di pergunakan bersama-sama.